Civil Engineering

Civil Engineering
Kunjungan Bendungan

Saturday, November 5, 2011

Analisa Mengenai Dampak Lingkungan

Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
Industri yang banyak menyumbangkan limbah.;-INDUSTRI TAPIOKA
Industri tapioka merupakan industri rumah tangga yang memiliki dampak positif bila dilihat dari segi ekonomis. Namun dampak pencemaran industri tapioka sangat dirasakan bagi masyarakat yang berada di sekitar wilayah industri tapioka tersebut. Dampak tersebut merupakan pengaruh limbah cair yang tidak mengalami proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau permukaan tanah sehingga dapat mengganggu kesehatan serta nilai estetika. Hal ini disebabkan karena sifat atau karakteristik dari limbah cair industri tapioka. Limbah cair industri tapioka tradisional mencapai 14 - 18 m3 per ton ubi kayu.          Dengan teknologi yang lebih baik jumlah limbah cair dapat direproduksi menjadi 8 m3 /ton ubi kayu. Limbah cair industri tapioka mengandung padatan tersuspensi 1.000 - 10.000 mg/L dan bahan organik 1.500 - 5.300 mg/L.22 Desa Ngemplak Kidul Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati merupakan salah satu sentral industri tapioka yang dekat dengan aliran sungai Suwatu di sepanjang desa hingga ke arah timur menuju laut. Limbah cair tapioka yang dihasilkan dari industri tersebut dibuang ke aliran sungai tanpa melewati proses pengolahan limbah cair terlebih dulu. Karakteristik kualitas air limbah dari sentra industri tapioka di desa Ngemplak Kidul kecamatan Margoyoso adalah sebagai berikut : BOD : 4.000 – 6.000 mg/l;
COD : 5.000 – 10.000 mg/l; TSS : 1.200 – 1.300 mg/l; CN- : 0,0 – 0,6 mg/l. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air bahwa kandungan zat organik dan asam sianida (HCN) maksimum yang diperbolehkan pada limbah cair industri tapioka, yaitu : BOD : 150 mg/l; COD : 300 mg/l; TSS : 100 mg/l; CN- : 0,3 mg/l; pH : 6 – 9. 6 Singkong (Manihot Utilissima) merupakan bahan utama pembuatan tapioka. Di dalam singkong, baik pada umbi maupun daunnya mengandung glikosida cyanogenik. Zat ini dapat menghasilkan HCN atau senyawa asam biru yang bersifat sangat toksik (beracun). Umbi dan daun singkong yang mengandung racun biasanya ditandai dengan berasa pahit dan baunya yang langu. Perebusan dan perendaman dalam air mengalir dapat mengurangi kandungan racun HCN di
dalamnya, hal ini dikarenakan sifat dari HCN yang larut di dalam air. Akan tetapi berdasarkan penelitian Nurrohim (2005), ditemukan kandungan HCN pada limbah cair keluaran produksi tapioka melebihi batas maksimum yang diperbolehkan pada limbah cair industri tapioka.17 Penurunan kandungan HCN merupakan upaya di dalam mengolah limbah cair tapioka. Hal ini dikarenakan HCN merupakan salah satu bahan pencemar anorganik yang paling penting. Dalam air, sianida terdapat sebagai HCN, suatu asam lemah dengan pKa = 6 x 10 -10. Ion sianida mempunyai afinitas kuat terhadap banyak ion logam, dan merupakan gas yang mudah menguap dan beracun.
Sungguh, kita memang risau atas beroperasinya banyak pabrik tapioka di daerah ini. Dari berbagai studi, manfaat ekonomi dari industri berbahan baku singkong itu tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang dihadirkannya. Selalu, bisnis ini hanya membikin makmur para pengusaha. Belum ada rakyat sejahtera dari usaha ini karena diganjal kartel yang dibangun pengusaha besar.
Pemerintah daerah juga tidak memperoleh pendapatan signifikan dari sektor ini. Yang terjadi justru kerugian teramat besar harus diderita daerah dan masyarakat. Sebab, lingkungan hidup rusak berat akibat pola monokultur ubi kayu yang haus lahan. Kita tahu, singkong menyedot dengan sangat rakus unsur hara. Akibatnya tanah menjadi kurus, tandus, dan berujung pada erosi.
Iming-iming keuntungan materi, memaksa sebagian masyarakat mengonversi ladang-ladang mereka menjadi kebun singkong. Sebagian lagi menjarah hutan secara besar-besaran. Membabati pepohonan dan mulai menanam ubi kayu. Akibatnya, kawasan yang dulunya hutan berubah menjadi titik rawan longsor yang melenyapkan sumber-sumber air.
Berkurangnya hutan kemudian segera menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal. Arusnya melemah akibat dibendung lumpur dan kekurangan pasokan air menyusul menyusutnya mata-mata air. Sungai kekeringan pada musim kemarau. Sebaliknya menjadi sumber bencana banjir bandang pada musim penghujan.
Jalan-jalan provinsi, kabupaten, dan desa juga rusak berat dilindas truk-truk pengangkut singkong. Maklum, jalan yang dibikin hanya kuat menahan beban maksimal delapan ton, tetapi dipaksa menyangga mobil bermuatan 25 ton. Dan, perbaikan jalan rusak itu anggarannya dari dana publik. Bukan dari para pengusaha yang justru biang perusaknya.
Aroma busuk dari limbah tapioka sudah begitu mencemari udara. Tetapi, sesungguhnya, bau busuk dari bahan buangan pabrik tapioka, bukanlah yang paling berbahaya. Masalah besar bersumber dari sianida yang terlarut dalam air sungai dan menguap ke udara.
Sianida, kita tahu, adalah zat berbahaya. Bahan kimia ini yang dulu dipakai Hitler untuk membunuh secara massal kaum Yahudi di Jerman. Limbah cair mengandung sianida itu dihasilkan dari proses pembuatan tapioka, mulai dari pencucian bahan baku sampai proses pengendapan pati.
Kecuali limbah cair, industri tapioka juga memproduksi sampah padat. Yakni, singkong yang tak terparut, kanji berkualitas jelek, dan onggok. Semuanya mengandung bahan yang mengancam itu: sianida. Penanganan yang sembrono selama ini, telah menyebabkan kotoran cair dan padat itu mencemari sumur, sungai dan udara.
Sungai yang dulunya besar dan berair bersih, sekarang banyak yang menciut dan kotor. Mereka sedang meratap karena pabrik-pabrik yang berdiri di dekatnya seenaknya menggelontorkan limbah dan mencemari air. Sungguh, sebuah kerugian amat besar bagi rakyat dan daerah ini. Atas nama manfaat ekonomi jangka pendek, kita harus kehilangan manfaat jangka panjang. Sungai tidak lagi bisa dikonsumsi, bahkan untuk sekadar mandi, cuci, dan kakus.
Padahal, secara tradisional, masyarakat memanfaatkan sungai bagi berbagai keperluan. Seperti untuk air minum, mandi, cuci dan kakus, irigasi sawah dan kebun, rekreasi, dan mencari ikan. Kegunaan tadi lenyap seiring tercemarnya sungai. Ikan, udang, dan keong mati dan punah karena tempat hidup mereka sudah mengandung racun. Warga pun tidak bisa lagi mengonsumsi sumber gizi yang sebelumnya gampang diperoleh itu.
Sungai juga sudah tidak boleh lagi untuk mandi, mengairi sawah dan kebun, juga diminum ternak. Air limbah yang masuk tambak akan membunuh ikan piaraan. Masalah belum lengkap karena masih banyak muncul problem lain harus dihadapi warga. Nyamuk penyebar penyakit menular, seperti malaria, demam berdarah, dan chikungunya, populasinya meledak. Sebab, serangga ini sudah kehilangan predator, yakni satwa-satwa penghuni air. Berbagai penyakit juga bermunculan, misalnya gatal-gatal.
BANYAK orang memang cenderung menganggap sepele berbagai dampak buruk lingkungan hidup menyusul semberononya pengelolaan pabrik-pabrik. Kita baru geger ketika melihat ribuan ikan mati mengambang di sungai. Lalu, ribut menuntut perusahaan bertanggungjawab membersihkan kembali sungai. Padahal, itu barangkali hanya sejumput masalah dari kerusakan dahsyat sumber daya alam akibat dikelola serampangan.
Oleh : Abdulloh Faqih
NPM : 209.05.1.000.6